Isra Mi’raj, Harlah NU dan Harlah Pancasila

Tulisan ini terinspirasi atau setidaknya mencoba mencari jawaban, mengapa panitia tabligh akbar MWC NU Rengasdengklok menyelenggarakannya tepat pada tanggal 1 Juni bahkan dengan tegas memberi nama acaranya “Isra Mi’raj dan Peringatan Hari Lahir Pancasila”.

Sebagaimana kita ketahui, baik melalui Al-Quran maupun Hadits baginda Nabi SAW bahwa bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينََ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langit dan bumi, di antaranya (terdapat) empat bulan haram. Itulah agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri dalam bulan-bulan tersebut, dan perangilah kaum musyrikin sebagaimana mereka pun memerangi kamu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah, 9:36)

Sabda Rasululah :

ألاَ إنَّ الزَمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْم خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتَ وَالْأرْضَ السَّنَةَ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً مِنْهَا أرْبَعَةُ حَرَمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو القَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرُّ بَيْنَ جُمَادِى وَشَعْبَانَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

”Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan yang di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan diantaranya berturut-turut Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi kaum Nahdliyin, ada dua peristiwa bersejarah yang senantiasa kita peringati setiap tahun berkaitan dengan bulan Rajab ini.

Pertama, peristiwa agung Isra Mi’raj baginda Rasulillah Muhammad SAW. Sebuah ”Paket perjalanan” yang memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita, bagaimana kesusahan, kesedihan dan rintangan dalam menjalankan misi dakwah digantikan dengan anugerah berupa sebuah pesan (perintah langsung kewajiban sholat lima waktu) sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sejarah mencatat bahwa pada tahun kedelapan dari kenabian, Rasulullah SAW mendapatkan beberapa cobaan yang teramat berat baginya dan bagi para pengikutnya. Ujian berupa embargo kaum kafir Quraisy dan sekutunya terus dijalankan meskipun waktu telah memasuki bulan Haram. Sehingga Nabi beserta para sahabatnya tetap merasakan penganiayaan dan kedhaliman dari mereka yang biasanya menghentikan segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawannya pada bulan Haram.

Pada tahun itu pula Rasulullah harus rela ketika kedua orang yang senantiasa mendapingi dan membela dakwahnya, yakni paman dan istrinya, dipanggil menghadap Sang Rabb. Sehingga Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran.

Karena itulah, Rasulullah kemudian mengijinkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Thaif. Namun rupanya Bani Tsaqif yang menguasai tanah Thaif tidaklah memberikan sambutan hangat kepada para sahabatnya. Mereka yang datang meminta pertolongan justru diusir dan dihinakan sedemikian rupa. Mereka dilempari batu hingga harus kembali dengan kondisi berdarah-darah.

Atas cobaan yang taramat berat dan bertubi-tubi ini, maka Allah SWT kemudian memberikan ”hiburan” kepada baginda Rasulullah SAW yang sedang berkabung dengan segala keadaan dan perasaannya, berupa ”sepaket perjalanan Isra Mi’raj” untuk menyegarkan kembali ghirroh (Semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi Tauhid di Bumi.

”Paket perjalanan” ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad SAW, bahwa segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah dipandang sebagai sebuah permulaan akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan dari Allah SWT kepada kita.

Kedua, pada awal abad ke-20 umat Islam mendapat ujian yang cukup berat ketika penguasa baru Tanah Hijaj, Ibnu Su’ud memproklamirkan Negara barunya dengan nama Saudi Arabia dan sekaligus menetapkan faham Wahabi sebagi Madzhab resmi negaranya.

Sesuai dengan 2 prinsip ajarannya “Kembali kepada Al-Quran dan Hadits” serta “Berantas bid’ah dan adat istiadat lama”, Ibnu Su’ud menghancurkan situs-situs sejarah Islam, seperti membongkar dan meratakan pemakaman Ma’la dan Baki’ tempat ribuan Syhada dimakamkan, bahkan beliau berencana membongkar Makam Baginda Rasulullah SAW.

Atas cobaan ini kemudian Allah menganugerahkan kepada umat Islam berupa bangkitnya para Ulama Indonesia yang dipelopori Hadrautussyekh KH.M. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan berdirinya sebuah Jam’iyyah Diniyah pembela faham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan nama Nahdlatul Ulama juga pada bulan Rajab Mudlor yang dimuliakan Allah ini, tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H.

Untuk mengenang kedua peristiwa besar ini, warga Nahdliyin menyelenggarakan peringatan Isra Mi’raj dan hari lahir Nahdlatul Ulama pada bulan Rajab setiap tahun.

Lalu, mengapa peringatannya dilaksanakan pada tanggal 1 Juni ini ? Dan mengapa pula digabungkan dengan peringatan Hari Lahirnya Pancasila ? Tentunya para jamaahpun bertanya-tanya apa hubungannya NU dengan lahirnya Pancasila ?

Sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia serta membuktikan janjinya bahwa Jepang datang ke Indonesia untuk membantu proses kemerdekaan Indonesia, maka pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, pemerintah pendudukan balatentara Jepang yang dipimpin Jenderal Harada membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 63 orang, dua orang diantaranya dari Jam’iyah Nahdlatul Ulama, yaitu KH. Masykur dan KH.A. Wachid Hasyim.

Pada rapat pertama BPUPKI (28 Mei – 1 Juni 1945) yang membahas Dasar Negara, tepatnya pada hari terakhir, tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya muncul istilah PANCASILA sebagai dasar Negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno dan disetujui oleh rapat, walaupun susunan dan redaksi kalimatnya belum seperti sekarang, melainkan disempurnakan melalui rapat panitia 9 yang didalamnya ada KH.A. Wachid Hasyim.

Atas dasar itu, NU yakin bahwa ditetapkannya tanggal 1 Juni sebagai HARI LAHIR Pancasila oleh pemerintah pada waktyu itu adalah keputusan yang tepat.

Tinggalkan komentar

Filed under Opini, PCNU Karawang, Sejarah

Tinggalkan komentar